Senin, 10 Maret 2014

Kehidupan sosial,budaya dan politik kerajaan Cirebon

Kehidupan Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari pelabuhan, karena pada mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan. Maka dari sini tidak mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari beberapa golongan. Diantara golongan yang ada antara lain, golongan raja beserta keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan golongan budak.Golongan Raja Para raja/Sultan yang tinggal di kraton melaksanakan ataupun mengatur pemerintahan dan kekuasaannya. Pada mulanya gelar raja pada awal perkembangan Islam masih digunaka, tetapi kemudian diganti dengan gelar Sultan akibat adanya pengaruh Islam. Kecuali gelar Sultan terdapat juga gelar lain seperti Adipati, Senapati, Susuhunan, dan Panembahan. Raja atau Sultan sebaai penguasa terinnggi dalam pemerintahan memiliki hubungan erat dengan pejabat tinggi kerajaan seperti senapati, menteri, mangkubumi, kadi, dan lain sebagainya. Pertemuan antara raja dengan pejabat ataupun langsung dengan rakyat tidak dilakukan setiap hari. Kehadiran raja di muka umum kecuali pada waktu audiensi/pertemuan juga pada waktu acara penobatan mahkota, pernikahan raja, dan putra raja.Golongan Elite Golongan ini merupakan golongan yang mempunyai kedudukan di lapisan atas yang terdiri dari golongan para bangsawan/priyayi, tentara, ulama, dan pedagang. Diantara para bangsawan dan pengusa tersebut, patih dan syahbandar memiliki kedudukan kedudukan penting. Di Cirebon, pernah ada orang-orang asing yang dijadikan syahbandar dan mereka memempati golongan elite. Hal ini dipertimbangkan atas suatu dasar bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas tentang perdagangan dan hubungan internasional. Golongan keagamaan yang terdiri dari ulama juga memiliki memiliki kedudukan yang tinggi, mereka umumnya berperan sebagai penasehat raja .Golongan Non Elite Golongan ini merupakan merupakan lapisan masyarakat yang besar jumlahnya dan terdiri dari masyarakat kecil yang bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan tentara bawahan dan lapisan masyarakat kecil lainnya. Petani dan pedagang merupakan tulang punggung perekonomian, dan mereka mempunyai peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan perekonomian secara keseluruhan.Golongan Budak Golongan ini terdiri dari orang-orang yang bekerja keras, menjual tenagai sampai melakukan pekerjaan yang kasar. Adanya golonga buak tersebut disebabkan karena seseorang yang tidak bias membayar utang, akibat kalah perang. Golongan budak menempati status sosial paling rendah, namun mereka juga diperlukan oleh golongan raja maupun bangsawan untuk melayani keperluan mereka. Mereka dipekerjakan dalam membantu keperluannya dengan menggunakan fisik yang kuat. Mereka harus taat pula dengan peraturan yang dibuat oleh majikannya. Namun bagi mereka yang nasibnya baik dan bisa membuat majikan berkenan maka mereka bisa diangkat sebagai tukang kayu, juru masak dan lain sebagainya .







Kehidupan Budaya Kerajaan Cirebon
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya agar melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik. Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk ibadah seagaimana yang tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru dalam upacara yang biasanya disebut kenduren atau selamatan.Membahas masalah budaya, maka tak lepas pula dengan seni, Cirebon memiliki beberapa tradisi ataupun budaya dan kesenian yang hingga sampai saat ini masih terus berjalan dan masih terus dlakukan oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah upacara tradisional Maulid Nabi Muhammad SAW yang tela ada sejak pemerintahan Pangeran Cakrabuana, dan juga Upacara Pajang Jimat dan lain sebagainya. B.1 Upacara Maulid Nabi Upacara Maulid Nabi dilakukan setelah beliau wafat,± 700 tahun setelah beliau wafat upacara ini dilakukan sebagai rasa hormat dan sebagai peringatan hari kelahiran kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, kata maulud berasal dari bahasa Arab “Maulid” yang memiliki sebuah arti kelahiran. Upacara Maulid Nabi di Cirebon telah dilakkan sejak abad ke 15, sejak pemerintahan Sunan Gunung Jati upacara ini dilakukan dengan besar-besaran. Berbeda dengan masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana yang hanya dilakukan dengan cara sederhana. Upacara Maulid Nabi di kraton Cirebon diadakan setiap tahun hingga sekarang yang oleh masyarakat Cirebon bisebut sebagai upacara “IRING-IRINGAN PANJANG JIMAT” .Upacara Pajang Jimat Salah satu upacara yang dilakukan di Kerajaan Cirebon adalah Upacara Pajang Jimat. Pajang Jimat memiliki beberapa pengertian, Pajang yang berarti terus menerus diadakan, yakni setiap tahun, dan Jimat yang berarti, dipuja-puja di dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW Pajang Jimat merupakn sebuah piring besar (berbentuk elips) yang terbuat dari kuningan. Bagi Cirebon Pajang Jimat memiliki sejarah khusus, yakni benda pusaka Kraton Cirebon, yang merupakan pemberian Hyang Bango kepada Pangeran Cakrabuana ketika mencari agama Nabi (Islam). Upacara Pajang Jimat pada Kraton Cirebon dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah Isya’, upacara penurunan Pajang Jimat dilakukan oleh petugas dan ahli agama di lingkungan kraton. Turunnya Pajang Jimat dimulai dari ruang Kaputren naik ke Prabayaksa dam selanjutnya diterima oleh petugas khusus yang telah diatur. Adapun tatacara dan atribut dalam upacara Pajang Jimat, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Beberapa lilin dipasang diatas standarnya. 2. Dua buah manggaran, dan buah naga dan dua buah jantungan. 3. Kembang goyak (kembang bentuuk sumping) 4.Serbad dua guci dan duapuluh botl bir tengahan. 5. Boreh/parem. 6. Tumpeng. 7. Ancak sangar (panggung) 4 buah yang keluar dari pintu Pringgadani. 8. 4 buah dongdang yang berisi makanan, menyusul belakangan, keluar dari pintu barat Bangsal Pringgandani, ke teras Jinem. Upacara irig-iringan Pajang Jimat di Kraton Kasepuhan Cirebon ini sebagai gambaran peranan seorang dukun bayi (bidan). Jam 24.00 Pajang Jimat kembali dari Langgar Keraton masukke Kraton dengan melalui pintu sebelah barat menuju Kaputren, maka berakhirlah acara Upacara Maulid Nabi Seni Bangunan dan Seni Ukir Seni bangunan dan seni ukir yang berkembang di kerajaan Cirebon tak lepas dari perkembngan seni pada zaman sebelumnya. Ukiran-ukiran yang ada pada kraton banyak menunjukkan pola zaman sebelumnya. Ukiran yang menunjukkan sifat khas pada Cirebon adalah ukiran pola awan yang digambarkan pada batu karang. Penggunaan seni bangunan masjid tampak asli pada penggunaan lengkungan pada ambang-ambang pintu masjid. Demikian pula dengan makam-makam yang strukturnya mengikuti zaman sebelumnya. Yakni berbentuk bertingkat dan ditempatkan di atas bukit-bukit menyerupai meru .Seni Kasusasteran Diantara seni bangunan dan seni tari, terdapat juga seni kasusasteran yang berkembang. Diantarnya adalah seni tari, seni suara, dan drama yang mengandung unsur-unsur Islam. Seni kasusasteran yang berkembang ini juga tak lepas dari zaman sebelumnya. Misalnya saja seni tari, yang diantaranya yang berkembang adalah seni ogel namun mengandung unsur-unsur Islam 

Kehidupan Politik Kerajaan Cirebon
            Perkembangan politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan politiknya dengan Demak. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Cirebon. Dikatakan oleh Tome Pires yang menjadi Dipati Cirebon adalah seorang yang berasal dari Gresik. Babad Cirebon menceritakan tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji Abdullah yang menyebarkan agama  islam di kota tersebut sehingga upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran lambat laun dihentikan.
            Selain hubungannya dengan Demak, kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi oleh beberapa konflik. Konflik yang terjadi ada konflik internal dan  menjadi vassal VOC.
             Pertama yang terjadi, dimulai dari keputusan Syarif Hidayatullah yang resmi melepaskan diri dari kerajaan Sunda tahun 1482. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570, dan kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa kepemerintahannya, Panembahan Ratu menyaksikan berdirinya karajaan Mataram dan datangnya VOC di Batavia.
            Panembahan Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja. Sementara di bidang politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten dan Mataram .Setelah wafat pada tahun 1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim yang dikenal dengan nama Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II karena anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat terlebih dahulu .
            Ketika terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh utusan dari kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang sakit-sakitan menyebabkan dia meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit Giriliya. Sedangkan kedua anaknya dibawa ke Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya. Namun, kemudian mereka dikembalikan ke Cirebon, disana mereka membagi tiga kekuasaan.
            Ketiga penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa tunggal. Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak tertua. Sementara Sultan Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba mencari dukungan kepada Sultan Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta , yang menjadi pengurus kerajaan saat kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah mengakui gelar sultan pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut mereka panembahan .
Dengan surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC. Jadilah, urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait Cirebon (termasuk pergantian sultan, penentuan jumlah prajurit) harus sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para Sultan akan bepergian harus atas ijin VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat VOC harus duduk sejajar dengan para Sultan

Setelah kedatangan Belanda ke Cirebon membuat banyak  perubahan, khususnya di bidang politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II atas kehendak VOC menjadi Sultan. Pada Tahun 1768 kesultanan Cirebon dibuang ke Maluku.
            Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan. Namun ada hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.

1 komentar: