Kehidupan
Sosial Kerajaan Cirebon Perkembangan Cirebon tidak lepas dari pelabuhan, karena
pada mulanya Cirebon memang sebuah bandar pelabuhan. Maka dari sini tidak
mengherankan juga kondisi sosial di Kerajaan Cirebon juga terdiri dari beberapa
golongan. Diantara golongan yang ada antara lain, golongan raja beserta
keluargana, golongan elite, golongan non elite, dan golongan budak.Golongan
Raja Para raja/Sultan yang tinggal di kraton melaksanakan ataupun mengatur
pemerintahan dan kekuasaannya. Pada mulanya gelar raja pada awal perkembangan
Islam masih digunaka, tetapi kemudian diganti dengan gelar Sultan akibat adanya
pengaruh Islam. Kecuali gelar Sultan terdapat juga gelar lain seperti Adipati,
Senapati, Susuhunan, dan Panembahan. Raja atau Sultan sebaai penguasa terinnggi
dalam pemerintahan memiliki hubungan erat dengan pejabat tinggi kerajaan
seperti senapati, menteri, mangkubumi, kadi, dan lain sebagainya. Pertemuan
antara raja dengan pejabat ataupun langsung dengan rakyat tidak dilakukan
setiap hari. Kehadiran raja di muka umum kecuali pada waktu audiensi/pertemuan
juga pada waktu acara penobatan mahkota, pernikahan raja, dan putra raja.Golongan
Elite Golongan ini merupakan golongan yang mempunyai kedudukan di lapisan atas
yang terdiri dari golongan para bangsawan/priyayi, tentara, ulama, dan
pedagang. Diantara para bangsawan dan pengusa tersebut, patih dan syahbandar
memiliki kedudukan kedudukan penting. Di Cirebon, pernah ada orang-orang asing
yang dijadikan syahbandar dan mereka memempati golongan elite. Hal ini dipertimbangkan
atas suatu dasar bahwa mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas
tentang perdagangan dan hubungan internasional. Golongan keagamaan yang terdiri
dari ulama juga memiliki memiliki kedudukan yang tinggi, mereka umumnya
berperan sebagai penasehat raja .Golongan Non Elite Golongan ini merupakan
merupakan lapisan masyarakat yang besar jumlahnya dan terdiri dari masyarakat
kecil yang bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan
tentara bawahan dan lapisan masyarakat kecil lainnya. Petani dan pedagang
merupakan tulang punggung perekonomian, dan mereka mempunyai peranan
sendiri-sendiri dalam kehidupan perekonomian secara keseluruhan.Golongan Budak
Golongan ini terdiri dari orang-orang yang bekerja keras, menjual tenagai
sampai melakukan pekerjaan yang kasar. Adanya golonga buak tersebut disebabkan
karena seseorang yang tidak bias membayar utang, akibat kalah perang. Golongan
budak menempati status sosial paling rendah, namun mereka juga diperlukan oleh
golongan raja maupun bangsawan untuk melayani keperluan mereka. Mereka
dipekerjakan dalam membantu keperluannya dengan menggunakan fisik yang kuat.
Mereka harus taat pula dengan peraturan yang dibuat oleh majikannya. Namun bagi
mereka yang nasibnya baik dan bisa membuat majikan berkenan maka mereka bisa
diangkat sebagai tukang kayu, juru masak dan lain sebagainya .
Kehidupan
Budaya Kerajaan Cirebon
Agama
Islam mengajarkan agar para pemeluknya agar melakukan kegiatan-kegiatan
ritualistik. Yang dimaksud kegiatan ritualistik adalah meliputi berbagai bentuk
ibadah seagaimana yang tersimpun dari rukun Islam. Bagi orang Jawa, hidup ini
penuh dengan riyual/upacara. Secara luwes Islam memberikan warna baru dalam
upacara yang biasanya disebut kenduren atau selamatan.Membahas masalah budaya,
maka tak lepas pula dengan seni, Cirebon memiliki beberapa tradisi ataupun
budaya dan kesenian yang hingga sampai saat ini masih terus berjalan dan masih
terus dlakukan oleh masyarakatnya. Salah satunya adalah upacara tradisional
Maulid Nabi Muhammad SAW yang tela ada sejak pemerintahan Pangeran Cakrabuana,
dan juga Upacara Pajang Jimat dan lain sebagainya. B.1 Upacara Maulid Nabi
Upacara Maulid Nabi dilakukan setelah beliau wafat,± 700 tahun setelah beliau
wafat upacara ini dilakukan sebagai rasa hormat dan sebagai peringatan hari
kelahiran kepada junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Secara istilah, kata maulud
berasal dari bahasa Arab “Maulid” yang memiliki sebuah arti kelahiran. Upacara
Maulid Nabi di Cirebon telah dilakkan sejak abad ke 15, sejak pemerintahan
Sunan Gunung Jati upacara ini dilakukan dengan besar-besaran. Berbeda dengan
masa pemerintahan Pangeran Cakrabuana yang hanya dilakukan dengan cara
sederhana. Upacara Maulid Nabi di kraton Cirebon diadakan setiap tahun hingga
sekarang yang oleh masyarakat Cirebon bisebut sebagai upacara “IRING-IRINGAN
PANJANG JIMAT” .Upacara Pajang Jimat Salah satu upacara yang dilakukan di
Kerajaan Cirebon adalah Upacara Pajang Jimat. Pajang Jimat memiliki beberapa
pengertian, Pajang yang berarti terus menerus diadakan, yakni setiap tahun, dan
Jimat yang berarti, dipuja-puja di dalam memperingati hari kelahiran Nabi
Muhammad SAW Pajang Jimat merupakn sebuah piring besar (berbentuk elips) yang
terbuat dari kuningan. Bagi Cirebon Pajang Jimat memiliki sejarah khusus, yakni
benda pusaka Kraton Cirebon, yang merupakan pemberian Hyang Bango kepada
Pangeran Cakrabuana ketika mencari agama Nabi (Islam). Upacara Pajang Jimat
pada Kraton Cirebon dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal, setelah Isya’,
upacara penurunan Pajang Jimat dilakukan oleh petugas dan ahli agama di
lingkungan kraton. Turunnya Pajang Jimat dimulai dari ruang Kaputren naik ke
Prabayaksa dam selanjutnya diterima oleh petugas khusus yang telah diatur.
Adapun tatacara dan atribut dalam upacara Pajang Jimat, diantaranya adalah
sebagai berikut: 1. Beberapa lilin dipasang diatas standarnya. 2. Dua buah
manggaran, dan buah naga dan dua buah jantungan. 3. Kembang goyak (kembang
bentuuk sumping) 4.Serbad dua guci dan duapuluh botl bir tengahan. 5.
Boreh/parem. 6. Tumpeng. 7. Ancak sangar (panggung) 4 buah yang keluar dari
pintu Pringgadani. 8. 4 buah dongdang yang berisi makanan, menyusul belakangan,
keluar dari pintu barat Bangsal Pringgandani, ke teras Jinem. Upacara
irig-iringan Pajang Jimat di Kraton Kasepuhan Cirebon ini sebagai gambaran
peranan seorang dukun bayi (bidan). Jam 24.00 Pajang Jimat kembali dari Langgar
Keraton masukke Kraton dengan melalui pintu sebelah barat menuju Kaputren, maka
berakhirlah acara Upacara Maulid Nabi Seni Bangunan dan Seni Ukir Seni bangunan
dan seni ukir yang berkembang di kerajaan Cirebon tak lepas dari perkembngan
seni pada zaman sebelumnya. Ukiran-ukiran yang ada pada kraton banyak
menunjukkan pola zaman sebelumnya. Ukiran yang menunjukkan sifat khas pada
Cirebon adalah ukiran pola awan yang digambarkan pada batu karang. Penggunaan
seni bangunan masjid tampak asli pada penggunaan lengkungan pada ambang-ambang
pintu masjid. Demikian pula dengan makam-makam yang strukturnya mengikuti zaman
sebelumnya. Yakni berbentuk bertingkat dan ditempatkan di atas bukit-bukit
menyerupai meru .Seni Kasusasteran Diantara seni bangunan dan seni tari,
terdapat juga seni kasusasteran yang berkembang. Diantarnya adalah seni tari,
seni suara, dan drama yang mengandung unsur-unsur Islam. Seni kasusasteran yang
berkembang ini juga tak lepas dari zaman sebelumnya. Misalnya saja seni tari,
yang diantaranya yang berkembang adalah seni ogel namun mengandung unsur-unsur
Islam
Kehidupan Politik Kerajaan
Cirebon
Perkembangan
politik yang terjadi pada Cirebon berawal dari hubungan politiknya dengan
Demak. Hal inilah yang menyebabkan perkembangan Cirebon. Dikatakan oleh Tome
Pires yang menjadi Dipati Cirebon adalah seorang yang berasal dari Gresik. Babad
Cirebon menceritakan tentang adanya kekuasaan kekuasaan Cakrabuana atau Haji
Abdullah yang menyebarkan agama islam di kota tersebut sehingga
upeti berupa terasi ke pusat Pajajaran lambat laun dihentikan.
Selain
hubungannya dengan Demak, kehidupan politik pada kala itu juga dipengaruhi oleh
beberapa konflik. Konflik yang terjadi ada konflik internal
dan menjadi vassal VOC.
Pertama
yang terjadi, dimulai dari keputusan Syarif Hidayatullah yang resmi melepaskan
diri dari kerajaan Sunda tahun 1482. Syarif Hidayatullah wafat pada tahun 1570,
dan kepemimpinannya digantikan oleh anaknya yaitu Pangeran Ratu atau Panembahan
Ratu. Pada masa kepemerintahannya, Panembahan Ratu menyaksikan berdirinya
karajaan Mataram dan datangnya VOC di Batavia.
Panembahan
Ratu cenderung berperan sebagai ulama dari pada sebagai raja. Sementara di
bidang politik, Panembahan Ratu menjaga hubungan baik dengan Banten dan Mataram
.Setelah wafat pada tahun 1650, dalam usia 102 tahun, Panembahan Ratu digantikan
oleh cucunya, yaitu Pangeran Karim yang dikenal dengan nama Panembahan Girilaya
atau Panembahan Ratu II karena anaknya Pangeran Seda Ing Gayam telah wafat
terlebih dahulu .
Ketika
terjadi pemberontakan Trunojoyo, Panembahan Senapati dijemput oleh utusan dari
kesultanan Banten ke Kediri. Dalam perjalanan kondisi Senapati yang
sakit-sakitan menyebabkan dia meninggal dunia dan akhirnya dimakamkan di bukit
Giriliya. Sedangkan kedua anaknya dibawa ke Banten, yaitu: Pangeran Martawijaya
dan Pangeran Kartawijaya. Namun, kemudian mereka dikembalikan ke Cirebon,
disana mereka membagi tiga kekuasaan.
Ketiga
penguasa Cirebon ini berusaha untuk menjadikan diri sebagai penguasa tunggal.
Sultan Sepuh merasa bahwa ia yang berhak atas kekuasaan tunggal karena ia anak
tertua. Sementara Sultan Anom, juga berkeinginan yang sama sehingga ia mencoba
mencari dukungan kepada Sultan Banten. Di lain pihak, Pangeran Wangsakerta ,
yang menjadi pengurus kerajaan saat kedua kakaknya dibawa ke Mataram, merasa
berhak juga menjadi penguasa tunggal. Sultan Sepuh mencoba mendapat dukungan
VOC dengan menawarkan diri menjadi vassal VOC. VOC sendiri tidak pernah
mengakui gelar sultan pemberian Sultan Banten dan selalu menyebut mereka
panembahan .
Dengan
surat perjanjian tanggal 7 Januari 1681, Cirebon resmi menjadi vassal VOC.
Jadilah, urusan perdagangan diserahkan kepada VOC, berbagai keputusan terkait
Cirebon (termasuk pergantian sultan, penentuan jumlah prajurit) harus
sepersetujuan VOC di Batavia, ketika para Sultan akan bepergian harus atas ijin
VOC dan naik kapal mereka, dalam berbagai yupacara, pejabat VOC harus duduk
sejajar dengan para Sultan
Setelah
kedatangan Belanda ke Cirebon membuat banyak perubahan, khususnya di
bidang politik. Pada tahun 1696, Sultan Anom II atas kehendak VOC menjadi
Sultan. Pada Tahun 1768 kesultanan Cirebon dibuang ke Maluku.
Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan. Namun ada hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Situasi politik Cirebon yang sudah terkotak-kotak itu, memang tidak bisa dihindarkan. Namun ada hal yang menarik, bahwa seorang keturunan Sunan Gunung Jati, yaitu Pangeran Aria Cirebon, tampak berusaha langsung atau tidak langsung untuk menunjukkan soliditas Cirebon, sebagai suatu dinasti yang lahir dari seorang Pandita Ratu. Pertama, ketika ia diangkat sebagai opzigther dan Bupati VOC untuk Wilayah Priangan dan kedua , ia menulis naskah Carita Purwaka Caruban Nagari.